Pertumbuhan ekonomi disamping dapat berdampak
peningkatan pendapatan pada akhirnya juga akan berpengaruh pada pendapatan
daerah. Semakin mampu menggali potensi perekonomian daerah yang ada, akan
semakin besar Produk Domestik Regional Bruto dan Pendapatan Asli Daerah,
sehingga mampu meningkatkan keuangan daerah dalam menunjang pelaksanaan otonomi
daerah.
Grafik
Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi per Tahun
Kota
Semarang Tahun 2007 - 2012 (Persen)
Sumber : PDRB Kota Semarang Tahun
2012
Terlihat sampai dengan tahun 2012, laju pertumbuhan
ekonomi Kota Semarang mengalami senantiasa mengalami peningkatan. Tetapi pada
tahun 2008 dan 2009 mengalami peningkatan yang melambat, kemudian kembali
meningkat lebih cepat pada tahun 2011 dan 2012. Ini berarti pertumbuhan ekonomi
tahun 2011 dan 2012 yang mencapai 6,41 dan 6,42 persen, mengalami peningkatan
lebih cepat dibandingkan tiga tahun sebelumnya.
Berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi per sektor Kota
Semarang atas dasar harga berlaku seluruh lapangan usaha pada tahun 2012
menunjukkan pertumbuhan positif. Lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran
mengalami pertumbuhan yang paling besar dibandingkan sektor ekonomi lainnya
yaitu sebesar 13,89 persen, lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang hanya
sebesar 12,03 persen. Peningkatan output pada sektor perdagangan, hotel dan
restoran lebih dikarenakan sumbangan dari sub-sektor perdagangan dan besar dan
eceran yang tumbuh mencapai angka 14,49 persen. Sedangkan sumbangan subsektor
hotel hanya tumbuh sebesar 10,60 persen.
Rata-rata
Pertumbuhan Sektor Ekonomi
Tahun 2012 (Persen)
Sumber
: PDRB Kota Semarang Tahun 2012
Gambaran lebih jauh struktur perekonomian Kota
Semarang dapat dilihat berdasarkan dari peranan masing-masing sektor terhadap pembentukan
total PDRB Kota Semarang. Sektor Primer yang terdiri dari sektor pertanian dan
pertambangan dan penggalian adalah sebagai penyedia kebutuhan dasar dan bahan, peranannya
menurun menjadi 1,23 persen pada tahun 2012, dibanding tahun 2011 yang sebesar
1,31 persen. Demikian juga yang terjadi pada sektor sekunder yang terdiri dari
sektor industri pengolahan, Listrik dan air bersih serta sektor bangunan yang peranannya
juga menurun dari 45,52 persen pada tahun 2011 turun menjadi 45,48 persen pada
tahun 2012. Sektor tersier yang sifat kegiatannya sebagai jasa peranannya
mengalami peningkatan juga dari 53,18 persen tahun 2011 menjadi 53,29 persen
pada tahun 2012. Sektor tersier ini terdiri dari sektor perdagangan, hotel dan
restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
serta jasa-jasa lainnya. Pada tahun 2012 sumbangan terbesar masih diperoleh
dari sektor Perdagangan sebesar 28,43 persen, peranannya naik dibanding tahun 2011
yang mencapai 28,01 persen. Sumbangan dari sektor Industri merupakan terbesar
kedua yaitu sebesar 24,36 persen pada tahun 2011 mengalami kenaikan menjadi
24.63 persen pada tahun 2012.
Rata
- rata Produk Domestik Regional Bruto per Kapita
Penduduk
Kota Semarang Tahun 2007 – 2012
Tahun
|
Pendapatan
Perkapita (Rp.)
|
Pertumbuhan (%)
|
Harga Berlaku
|
Harga Konstan
|
Harga Berlaku
|
Harga Konstan
|
2012
|
34.787.877,69
|
15.477.609,72
|
11,85
|
6,07
|
2011
|
31.101.843,10
|
14.591.728,43
|
11,51
|
6,27
|
2010
|
27.891.154,90
|
13.731.386,57
|
11,52
|
4,65
|
2009
|
25.010.837,45
|
13.121.875,16
|
9,94
|
4,00
|
2008
|
22.749.525,61
|
12.617.054,36
|
11,74
|
4,23
|
Sumber : PDRB Kota Semarang Tahun
2012
Pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku dari
tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Bila pada tahun 2000 adalah sebesar
9.180.071,90 rupiah, pada tahun 2012 telah mencapai 34.787.877,69 rupiah,
berarti telah terjadi peningkatan sebesar 3,8 kali lipat selama 10 tahun. Dan
jika dilihat berdasarkan harga konstan 2000, pertumbuhan pendapatan per kapita
dalam pada tahun 2012 juga mengalami peningkatan sebesar 6,07 persen. Dari
kedua informasi tersebut dapat dikatakan bahwa pada tahun 2012 peningkatan
pendapatan yang terjadi mampu mengangkat pendapatan per kapita hampir 1,6 kali
lipat dibanding pada kondisi tahun 2000.
Jumlah permukiman kumuh Kota Semarang saat ini merebak di
puluhan titik lokasi. Jika pada tahun 1963 terdapat 21 lokasi permukiman kumuh
(slums and squatters), data penelitian tahun 2002 menunjukkan
peningkatan menjadi 42 lokasi.Hasil penelitian Universitas Islam Sultan Agung
Semarang (Unissula) tahun 2002 menunjukkan 13 titik lokasi permukiman kumuh
berada di Kecamatan Semarang Utara. Titik-titik permukiman kumuh, kata Ketua
Pusat Studi Planologi Unissula M Agung Ridlo, antara lain berada di daerah
Krakasan, Makam Kobong, Stasiun Tawang, Bandarharjo, Kebonharjo, Kampung
Melayu, Tanjung Mas, Dadapsari, Purwosari, Plombokan, dan Panggung.
Berdasarkan hasil studi yang sama, sejumlah kawasan di
Kecamatan Tugu juga dihuni oleh kaum suburban. Agung menemukan permukiman kumuh
di Mangkang Kulon, Mangkang Wetan, Mangunharjo, Randugarut, Karanganyar,
Tugurejo, dan Jrakah. Daerah Semarang bagian utara menjadi daya tarik
tersendiri bagi para pendatang. Kawasan dekat pantai seperti Bandarharjo dan
Mangunharjo menjadi pusat perdagangan dan industri yang menarik orang untuk
datang dan bekerja.
Proses terbentuknya permukiman kumuh, terjadi karena para pekerja
memilih tinggal di dekat tempat kerja. Perkembangan Kota Semarang bermula dari
sekitar pelabuhan yang diikuti pertumbuhan industri di sekitar Genuk dan
Kaligawe. Sementara perdagangan dan jasa berada di sekitar Johar. Perkembangan
yang begitu pesat di pusat perdagangan, industri, dan jasa mengakibatkan
kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Sementara pada bagian lain, para
pendatang seringkali tidak memiliki keterampilan dan bekal yang cukup dari
kampung halaman. Kondisi permukiman kumuh itu berbeda dengan standar permukiman
yang ada di kota. Permukiman itu, acap tidak layak huni lantaran kotor, lusuh,
tidak sehat, tidak tertib, dan tidak teratur.
Ada empat model permukiman kumuh yang ada di Kota Semarang,
yakni model optimal, pathological, premature, dan intermediate.
Model pathological, biasanya terjadi di lokasi yang berdekatan dengan pusat
aktivitas perdagangan, pertokoan, dan pasar. Pada lokasi tersebut, terlalu
banyak migran berpendapatan kecil. Sementara model intermediate berada di pusat
aktivitas pergudangan, transportasi kereta api, pelabuhan, atau pusat
perdagangan. Sedangkan model prematur dapat dilihat pada permukiman nelayan di
pinggiran kota. Pada optimal model, infrastruktur permukiman potensial namun
pengakuan atas lahan tidak ada.
Tabel Data Permukiman Kumuh di Kota-kota Besar Tahun 2008
Kota
|
Jumlah Lokasi Permukiman Kumuh
|
Luas
Permukiman Kumuh
|
Jumlah
Bangunan di Lokasi Kumuh
|
Jumlah
KK di Lokasi Kumuh
|
Jumlah
Penduduk di Lokasi Kumuh
|
Semarang
|
133
|
40
|
7,365
|
8,239
|
32,956
|
Surabaya
|
141
|
59
|
6,158
|
6,958
|
27,832
|
Bandung
|
367
|
202
|
26,264
|
30,281
|
121,124
|
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum
Direktorat Jenderal Cipta Karya
Berdasarkan data tersebut menunjukkan jumlah penduduk di
lokasi kumuh Kota Semarang cukup tinggi mencapai 32.956, lebih tinggi dari
jumlah penduduk di lokasi kumuh Kota Surabaya. Jumlah KK di lokasi kumuh lebih
besar dari pada jumlah bangunannya mengindikasikan bahwa terdapat beberapa KK
dalam satu bangunan rumah dan KK yang tidak mempunyai bangunan rumah permanen.
Referensi
Bappeda
Kota Semarang. Produk Domestik Regional Bruto Kota Semarang 2012. Semarang :
Bappeda
Suara Merdeka. 42 Titik Jadi Sasaran Permukiman Kumuh, dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/07/kot10.htm,
diunduh 8 April 2015